. Pembacaan yang cermat bahan ini bisa membuat perbedaan besar dalam bagaimana Anda berpikir tentang
.
JAKARTA, KOMPAS.com " Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berencana mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam setiap rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR untuk mencegah terjadinya mafia anggaran. Sikap ini pun seakan menunjukkan kekhawatiran DPR akan kredibilitasnya di mata publik. Menurut Direktur Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHKI) Ronald Rofiandri, pelibatan KPK dan BPK tidak benar. Secara tidak langsung pertanggungjawaban DPR justru tereduksi dengan kehadiran KPK dan BPK, ungkap Ronald, Minggu (18/9/2011), di kantor ICW, Jakarta. Sepertinya informasi baru ditemukan tentang sesuatu setiap hari. Dan topik
tidak terkecuali. Jauhkan membaca untuk mendapatkan berita lebih segar tentang
.
Padahal, lanjutnya, di dalam Pasal 69 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pelaksanaan fungsi anggaran dan pengawasan dilakukan dalam kerangka representasi rakyat. Dalam artian, akuntabilitas DPR tidak semata terpenuhi dengan melibatkan KPK dan BPK. Namun, tetap harus tertuju langsung kepada konstituen dan masyarakat lebih luas, kata Ronald. Dikatakan Ronald, akuntabilitas DPR bisa dilakukan dengan wujud rapat dengan pendapat umum (RPDU), konsultasi publik, dan penyelenggaraan rapat-rapat terbuka. Langkah DPR harus berkorelasi dengan wilayah akuntabilitas publik. Bukannya berpaling kepada suatu lembaga yang sebenarnya bukan representasi publik, ucap Ronald. Selain itu, Ronald menilai keterlibatan BPK di dalam rapat Banggar tidak relevan. Pasalnya, pembicaraan dalam rapat-rapat Banggar merupakan bagian dari pematangan dan finalisasi rencana anggaran secara makro. Dengan demikian, BPK yang sebenarnya bekerja di wilayah audit implementasi, tidak relevan hadir pada tahap perencanaan anggaran. Efektivitas keterlibatan BPK di sini sangat diragukan, tandasnya.
tidak terkecuali. Jauhkan membaca untuk mendapatkan berita lebih segar tentang
.
Padahal, lanjutnya, di dalam Pasal 69 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, pelaksanaan fungsi anggaran dan pengawasan dilakukan dalam kerangka representasi rakyat. Dalam artian, akuntabilitas DPR tidak semata terpenuhi dengan melibatkan KPK dan BPK. Namun, tetap harus tertuju langsung kepada konstituen dan masyarakat lebih luas, kata Ronald. Dikatakan Ronald, akuntabilitas DPR bisa dilakukan dengan wujud rapat dengan pendapat umum (RPDU), konsultasi publik, dan penyelenggaraan rapat-rapat terbuka. Langkah DPR harus berkorelasi dengan wilayah akuntabilitas publik. Bukannya berpaling kepada suatu lembaga yang sebenarnya bukan representasi publik, ucap Ronald. Selain itu, Ronald menilai keterlibatan BPK di dalam rapat Banggar tidak relevan. Pasalnya, pembicaraan dalam rapat-rapat Banggar merupakan bagian dari pematangan dan finalisasi rencana anggaran secara makro. Dengan demikian, BPK yang sebenarnya bekerja di wilayah audit implementasi, tidak relevan hadir pada tahap perencanaan anggaran. Efektivitas keterlibatan BPK di sini sangat diragukan, tandasnya.
. Berbagi pemahaman baru Anda tentang
dengan orang lain. Mereka akan berterima kasih untuk itu.
No comments:
Post a Comment